Lilin Biru Laut

Rabu, 8 Desember 2021 21:11 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

LILIN BIRU LAUT

Oleh : Yasmine Yusnita Hasan

 

        Perapian mengeluarkan deru nafas berabu kusam. Sudah dua hari salju turun dengan lihai, bak hujan di hutan tropis. Rumah rumah kayu berisi bangsawan, terlihat lebih elegan dengan atap memutih. Namun, ditengah tengah puluhan bangunan megah. Ada satu dengan pelayan hitungan jari, sedang sibuk menyiapkan jejamuan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Lampu lampu khas rerumahan menerangi seisinya. Tak ada yang menyangka, si pemilik rumah tak berbau tanah beku khas perkotaan Inggris, apalagi menjabat menjadi Bangsawan sejahtera. Iris matanya tajam mengelokan, bentuk tubuhnya tak sama dengan yang semasa kecilnya berteriak, menangis bersamaan. Artha Saka Raja, si wajah pahatan sempurna dari pulau Sumatra. Tak ada yang menyangka bahwa ia seorang yang tak  mudah terlena. Seorang muslim taat.

 

Saka menahan lelah tubuhnya. Meminum seduhan teh dengan tenang. Disebrang sana, jendela seperti tentara yang menahan demo besar besaran. Saka kembali memalingkan wajah. Menatap setumpuk kertas seperti lumut yang menebal. Tampak tak pernah tergapai padahal bertambah seiring jam menambah detiknya. Didepannya, anak seorang bangsawan berharga ikut terduduk di ujung meja yang lain. Dengan tampilan bak putri kerajaan yang kedinginan.

 

 “Saka, kapan Kau ingin mengambil cuti? Kau lebih menyedihkan dari pelayan rumahku”

 

         Seperkian detik kembali hening, Rose kembali memangku wajah. Bukan karna pertanyaannya tak dijawab, tapi tak ada hidangan selain teh hangat. Rose mengacungkan tangan, tanda ia butuh bantuan. Pelayan terdekat menghampiri, membungkuk

“ada yang bisa saya bantu, Lady Rose?” Rose tersenyum anggun, kemudian pandangannya kembali pada Saka

“ maaf kan aku Saka, untuk ukuran pertemanan kita, ini berarti sudah biasa, boleh bawakan aku roti susu hangat?” pelayan mengganguk paham. Semenit kemudian, pelayan kembali datang dengan nampan berisi roti susu hangat. Hingga roti habis, ia masih meninggalkan semerbak wangi khas kedai kedai mahal.

 

        Akhirnya Saka mengambil cuti selama lima hari. Tentu saja Rose yang memaksa. Rose rindu berpergian dengan dua temannya, Saka dan Jashon. Mereka cukup dekat di sekolah tingkat atas, hingga beberapa waktu mereka akan membuat jadwal kumpul bersama. Jashon menjadi guru memanah bagi kalangan menengah keatas, maka tak ada yang menyangkal kalau ia sama sibuknya dengan Saka.

 

Daun cemara beku, membuat mata tak lelah dengan beribu dahannya. Jalanan bersalju membuat semua terlihat lama, walau Mouju mewah milik Rose berpacu hebat.

 

        Saka pemecah masalah terbaik dan professional. Bukankah itu perkerjaan yang mulia? Membantu orang lain dapat pahala kan? Apa salahnya?.   Jadi walaupun ia mengambil cuti cukup lama , ia tetap menyelesaikan setidaknya satu sampai dua kasus.

 

Masih di negara yang sama, mereka hanya melakukan perjalanan ke arah ufuk timur. Jashon menoleh ke arah Saka.

 “apa kau yakin masih akan menyelesaikan kasus mengerikanmu di hari cuti? Kau bahkan tak pernah bersantai” Saka menoleh.

“salah kan teman perempuanmu itu, sebenarnya aku tak ingin mengambil cuti sekarang, karna terpaksa, aku akan mengambil kasus paling dekat dengan arah tujuan kita” Rose terkekeh tak terdengar

“berhenti mengoceh Saka, nantinya kami juga akan membantu” seperkian detik melaju, mereka kembali hening.

 

Vila pribadi Rose membuat siapapun merasa nyaman. Perapian beradu lidah. Matahari sedang menyapa dengan sinar yang tak kalah hangatnya dengan senyum milik Jashon. Karna mereka rajin, dini hari mereka memulai sarapan. “Lady Rose, kami menyiapkan pudding sakura dengan teh hijau hangat” semua mata memandang. Rose sengaja membuat pelayan beribu ribu lebih lembut dari pelayan rumahnya. Rose terkekeh, mengganguk. Jashon menatap sambil menggeleng,  dasar anak manja.

20 menit kedepan, sarapan selesai dengan anggun.

 

Rose keluar dengan pakaian tebal, yang sepertinya akan sangat membantu kalau tiba tiba salju kembali turun. Saka juga berpakaian tebal, lebih bisa digunakan untuk beribadah, sedangkan Jashon, ia memilih pakaiannya dengan sangat elegan. Hangat namun masih satu style dengan baju baju biasanya. Terlihat sempurna.

Kereta kuda lebih ramai dengan nama Mouju. Mouju bermesin lebih sering didapat oleh kalangan menengah keatas. Rose bukan lagi masyarakat menengah apalagi kecil. Jadi, Rose memiliki Mouju mesin pribadi yang lebih mewah dibanding kalangan atas.

 

“Rose, apa supir Mouju ini tau jalan menuju kerajaan Clowdie?” Rose mengganguk “mari kita lihat, Pak, tolong antar kami menuju kerajaan Clowdie!” supir Mouju mengangguk “baik, Lady Rose” dan kereta Mouju melesat menuju kawasan kerajaan.

        Kedai kedai warga tampak menggugah selera makan, hampir saja Rose memerintah untuk segera berhenti, tapi Jashon segera mengomel “kau ini sungguh anak bangsawan atau tidak? Hanya makanan yang ada di otakmu” suara tawa pun terdengar. 10 menit kemudian mereka tiba didepan pintu kerajaan.

 

Jashon dengan sangat terhormat bisa berdiri di atas marmer mengkilat, matanya berbinar tapi tubuhnya tetap santai. Rose memperhatikan Jashon, memicingkan mata, norak sekali. Salah satu prajurit mengantar mereka ketempat pertemuan. Saka membungkuk hormat, kemudian dibalas angguk bijaksana dari raja “dengan tidak memperpanjang pertemuan aku akan langsung memberikan saksi, putriku Magie, menghilang di hari perayaan salju pertama, prajurit pribadiku akan membawa  kalian kesana, ke teater pertunjukan” Raja meninggalkan ruangan.

 

Kerajaan Clowdie selalu merayakan turunnya salju pertama. Mereka seperti membuat pentas seni penyambutan. Kabarnya, perayaan ini hanya dibuka untuk anak kecil hingga remaja kisaran umur 20 tahun. Biasanya Raja akan memilih dengan telunjuknya sendiri, siapakah yang berhak mengikuti pentas ini. Tak sembarang orang, bahkan beberapa bangsawan setempat, meminta langsung kepada Yang Mulia Raja agar memilih anaknya.

 

Prajurit memberikan penghormatan sebelum meninggalkan kami bertiga, “Maaf Tuan, Teaternya berada di sebelah sana, hati hati dengan hutan dibelakang Teater. Terlalu berbahaya, maaf sudah mengingatkan” prajurit meninggalkan tempat. Hening.

 

Jashon menjaga Rose agar tak membuat masalah. Saka mulai memeriksa, mendetail, sedetik dua detik ia mulai mencatat, memutari teater, kemudian mencatat lagi. Mungkin ia melakukannya hingga tiga kali, entahlah, melihatnya saja membuat pusing. Hingga tiba tiba Saka berhenti, diatas kepalanya seperti ada burung burung berputar, bak kartun yang menunjukkan kalau ia sedang berfikir. Cukup lama ia merenung, hingga akhirnya ia mulai beranjak.

        Saka mendekati Jashon dan Rose. “Aku ingin memastikan, apakah hutan ini tempat yang disebut prajurit tadi, hutan yang membahayakan ?” mereka mengangguk. Kemudian Saka kembali terdiam.

        Saka menengadahkan tangannya. Tidak terlalu keatas tapi, kegiatannya tak ada yang berani mengganggu. Kemudian dengan mantap, ia melangkah. Rose hampir menahan tangan Saka, tapi tak jadi. Ia melupakan hal besar. Saka menjaga tubuhnya dari seorang wanita. Maka hal selanjutnya yang dilakukan Rose adalah berteriak. Saka memberhentikan langkahnya

 

“Tak usah ikut Rose, ini berbahaya, Jashon akan menjagamu”.

 Rose menoleh kearah Jashon. Menatap lekat. Seolah saling tau kata hati dari tatapan iris mata. Rose menghembuskan nafas kasar.

 

“Astaga! Jangan keras kepala Saka, siapa yang akan menolong mu bila dalam bahaya?”tanpa translate pun Saka paham Rose panik, ia jelas khawatir. Saka tersenyum hangat.

          “Tak apa, aku telah meminta pertolongan kepada tuhanku, Allah, kalaupun Yang Maha Kuasa menakdirkanku tetap tak selamat, maka aku tetap akan senang sudah memilih jalan ini”

Saka berkata dengan tegas. Keyakinan hatinya ia teguhkan pada pemberi nikmat hidupnya. Berkali kali Jashon mendengar temannya berkata demikian, tapi ini yang paling membuatnya gelisah.

 

Rose mendekat “Aku ikut!” Jashon menoleh, tak mau kalah “ Hei, aku juga akan ikut” setelah merenung, mereka berjalan beriringan dengan saling menjaga.

 

Pohon pohon bersalju terlihat seperti scene di film fantasi. Sebenarnya kalau ini perjalanan biasa, ini sangat menenangkan pikiran. Bukannya menenangkan ini justru menjadi bahan jantung melatih kecepatan. Beruntung matahari masih mau bersinar. Mereka terus melangkah mengkuti arah hati, hanya itu yang bisa digunakan sekarang.

        Sebuah bangunan mulai terlihat setelah beribu kali melangkahkan kaki. Bangunan yang sama tertutupnya dengan pohon pohon cemara. Salju yang tebal membuat tak seorang pun curiga. Saka berjalan lebih dulu, memeriksa apakah pintu besar dihadapannya terpasang jebakan atau tidak.

 

Semua pikiran itu ternyata salah besar. Pintunya dapat terbuka dengan mudah, walau sedikit berat. Dan, sama sekali tidak ada jebakan mematikan.

        Pintu terbuka, pemandangan pertama yang mereka lihat adalah lilin. Bukan satu atau dua, tapi ratusan. Meja meja mewah terkesan lebih indah karna dipenuhi lilin berwarna. Gantungan gantungan rantai juga penuh dengan lilin. Mengagumkan. Tak ada satu pun lilin yang pucuknya berabu, seolah dibuat hanya untuk dijadikan hiasan.

         Mereka terus melangkah lebih dalam, walau kaki mereka gemetar ketakutan. Ratusan lilin tak membuat suasana berbalik. Hingga di pucuk ruangan, sebuah pintu tak kalah megah dari sebelumnya, berdiri tegak. Mereka melangkah maju, mendorong sekuat tenaga.

          Pintu megah telah terbuka, Rose membelalakkan matanya “astaga! Ini gila”. mereka menegang. Pandangan mereka tidak berubah sepenuhnya. Tetap lilin, tapi

kali ini manusia.   

          Sekitar 20 orang membeku, mereka jelas tak bernafas. Rose memutuskan maju, mendekati lilin paling dalam. Lilin putri Magie mulai terlihat. Matanya tertutup tanpa riasan. Sang putri mengenakan gaun biru laut. Gaunnya masih terlihat indah, walau sudah terkena lilin panas yang membeku. Permata disekujur gaunnya masih menyilaukan. Hingga Rose ikut mematung melihatnya. Apa ini sihir? Tangannya..

 

Jashon memutuskan menarik pergelangan tangan Rose dan membawanya keluar. Mereka berlarian meninggalkan lilin serta bangunan yang ada. Setumpuk salju membuat laju mereka terhambat. Hingga akhirnya mereka tiba ketempat semula. Teater pertunjukan. Mereka segera memanggil penjaga pemukiman warga. Saka menceritakan kejadian dengan detail. Dan segera kembali kedalam hutan rindang tempat para mayat membeku sempurna.

 

Hutan kembali riuh. Semua orang berkumpul memastikan. Ada yang menangis sampai berterima kasih kepada mereka bertiga. Bahkan Raja Leonard pun mengucapkan terima kasih, walau tanpa senyum sedikitpun.

 

Rose pucat pasi. Ia berjalan gontai kearah Saka dan Jashon. Mencoba membuka obrolan ditengah heningnya meja makan. “Kau kenapa, Rose?” Rose menelan ludah, bersiap diri “aku seorang bangsawan yang harus berpendidikan dan harus memiliki tata krama. Aku hampir menyelesaikan pelajaran tata krama milik kerajaan kerajaan besar. Kemarin, putri Magie menyilangkan tangan ke depan dada dan menutup mata. Itu berarti ia sedang menghormati keputusan seorang pemimpin, apa masih kurang jelas?” dahinya bercucuran keringat, sedangkan Jashon masih mencerna perkataan Rose.

 

Kemudian, Mouju kembali disiapkan. Melaju ke kawasan kerajaan.

 

“Tuan Saka, Raja sudah menunggu” prajurit pribadi Raja Leonard tak membungkuk. Mereka mulai berjalan, walau bingung beribu kata berkeliaran di otak. Mereka sama sekali tak membuat janji.

 

Ruangan ini hanya ada 5 penerangan lampu yang tidak setara dengan luas ruangan. Hanya menyorot bagian tengah. Raja mendekat.

“Sepertinya aku telah salah memerintah seseorang, ku kira kau bodoh seperti yang lain.”

“Kau juga Lady Rose, tak segampang itu menyembunyikan identitas.”

        Sekelibat percakapan berakhir dengan keputusan sepihak. Bertarung jarak dekat. Saka sudah lama tak memegang pedang, Jashon petarung jarak jauh, dan Rose seorang perempuan. Raja membuat keputusan yang memberikan nilai plus untuk dirinya sendiri. Saka kembali meminta pertolongan. Berdo`a.

 

Raja merangsek maju. Ia seperti laron yang telah menemukan cahaya terang. Saka mencoba untuk menepis serangan gila milik Raja. Raja berhenti, memberi waktu. Dengan sekejap Saka dan Jashon membabi buta.

        Sekitar 20 menit mereka bertahan dari serangan bertubi milik Raja. “Menyerahlah bocah ingusan. Kalian tak akan sanggup” pedang Saka dan Jashon terlempar. Raja tiba tiba menjatuhkan pedangnya. Dari belakang seorang yang tak kalah gagah mencekat leher Raja dengan pedang yang tak kalah mengagumkan.

 

Wajahnya mulai terpapar sinar lampu, “ Segera menyerah ayah, aku tak sungkan menghunus pedang terbaik di leher orang yang membunuh adikku” itu pangeran Ethaniel. “Aku tau ayah membenci anak kedua, TAPI MAGIE ANAK AYAH SENDIRI!”         Pangeran Ethaniel mulai menggesek pedangnya. Darah segar mengalir di leher Yang Mulia Raja.

“ Ethaniel hentikan! “       

“Tak akan ayah, ku biarkan ayah merasakan sakit dahulu “

“AYAH MENYERAH ETHANIEL! Lepaskan pedangmu!”

“Hei, segampang itu ? ayolah ayah”

“Baiklah, Lady Rose, panggilkan prajurit, suruh dia menyiapkan konferensi pers. “

Rose berlari. Mendorong sekuat tenaga pintu di depannya.

 

Malamnya juga. Konferensi pers diadakan. Para jurnalis dan warga setempat menghadiri acara. Wajah wajah tegang mendominasi. Anak anak kecil juga ikut terduduk. Kemudian pangeran Ethaniel, memulai acara.

     “Tidak perlu menghambat acara, mari kita datangkan pembunuh keluarga kerajaan yang tak lain adalah Raja Leonard” semua dahi mengkerut. Bagaimana bisa seorang Raja bijaksana menjadi pembunuh?.

         Langkah kaki Raja menggema sempurna, lalu berdiri diantara sekian banyak warga yang menyayanginya. Raja memulai. Semua orang terdiam. Hening. Hanya ada suara Raja yang terdengar tak bersalah. Tak ada yang tak terkejut, sekalipun ia seorang istri seorang raja. “Saya, pemimpin kerajaan Clowdie mengaku salah..”

 

Hukuman dijatuhkan. Kerajaan ini tak ada yang namanya tumpul. Semua akan berjalan seperti biasa. Raja turun tahta, Ethaniel dilantik menjadi penerusnya. Hukuman mati dijatuhkan.

          Tapi Ratu kerajaan tak rela, ia sudi menggantikan diri. Ratu memohon suaminya dibebaskan dengan segera. Hakim menolak seruan Ratu, dan meminta Raja dimasukkan ke tempat rehabilitas. Yakin tak yakin ia akan liar ketika dilepas.

 

 Aku akan membangun sesuatu yang tak menonjol untuk koleksi lilinku, aku sendiri yang akan membuat semua anak posisi kedua mati membeku, karna hanya satu yang boleh dihormati.

 

THE END

                                                                                                                         

                

Bagikan Artikel Ini
img-content
Hanifah Robbaniya

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Lilin Biru Laut

Rabu, 8 Desember 2021 21:11 WIB
img-content

Pengantin Itu Ternyata…..

Rabu, 8 Desember 2021 21:11 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content

Doa

Jumat, 10 Oktober 2025 09:38 WIB

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
Lihat semua